Bercumbu dengan Triplek













Bercumbu dengan Triplek
Ini semua bermula dari kebiasaan menyablon kaos sejak tahun 2003. Untuk menyablon kaos, aku menggunakan alas triplek. Awal tahun 2010, aku mulai mengamati; triplek bekas sablon kaos yang telah selesai kugunakan ternyata dipenuhi warna-warni. Semakin kuamati, semakin ada sesuatu yang menarik dari triplek bekas alas sablon kaos itu. Mulailah melintas ide nakal –atau keisengan- untuk menyablon si alas kaos itu sendiri, y.i. triplek. Aku pun menjajalnya. Sekali. Dua kali. Hingga aku kecanduan untuk terus menyablon triplek.
Hal lain, ada semacam kejenuhan dan kebosanan yang mendorongku untuk mengeksplorasi media triplek ini. Aku pun mulai menggelutinya, tapi lebih untuk kenikmatanku sendiri. Jadi, karya-karya triplekku hanya kusimpan dan belum terpikirkan untuk menjadikannya sebagai apa atau kusikapi lebih jauh lagi.
Percumbuanku dengan triplek -kemudian- mempertemukanku dengan karya-karya Wedar dan Hahan  di beberapa pameran. Kedua seniman ini juga menggunakan triplek untuk media kreatif mereka. Walau mereka menyikapi triplek itu seperti layaknya kanvas yang dilukisi, tetap saja persamaan media ini menambah semangat dan keyakinanku untuk menggeluti triplek. Aku pikir; ini bisa jadi media alternative dibanding kanvas dan/atau kertas yang sudah banyak digunakan para seniman atau artist wanna be. Di tahun 2011, aku mulai serius mendalami triplek ini.
Banyak hal menarik sekaligus menggelitik yang kujumpai dengan triplek ini. Pertama, triplek bagian dari kayu. Kedua, serat dan urat kayunya menggoda untukku mengeksplorasi berbagai objek dan warna yang ingin kugambarkan. Ketiga, bidang datarnya yang kokoh dan kuat menghadirkan sensasi yang berbeda ketika kugoreskan tinta dan cat dibandingkan kanvas dan kertas. Dalam pengolahan lebih lanjut, aku memperhatikan serat triplek secara serius. Kadang, aku menemukan serat triplek yang tidak mudah untuk digambar dengan pulpen.
Lalu, tak puas dengan menyablon triplek seukuran A3, aku mulai menjajal ukuran yang lebih kecil hingga membuat merchandise berupa gantungan kunci dan alat penanda. Prosesnya tak jauh beda dengan sablon kaos, poster, atau stiker. Aku membuat pola sesuai gambar yang kuinginkan di atas triplek. Lalu, triplek itu kusablon dengan berbagai warna yang kuinginkan. Keuntungan dari penggunaan teknik sablon ini, aku bisa menggunakan pola yang sama untuk jenis media yang lain; kertas untuk poster dan stiker, kain untuk emblem dan kaos.
Kini, diiringi dengan lantunan Doubyouth, hip hop, punk, musik gipsi, reggae, atau speed digital aku terus menyablon di atas triplek. Untuk mengasah dan meningkatkan kemampuanku, film-film berisi ketrampilan handmade pun menjadi referensi sekaligus bagian risetku untuk pengolahan triplek.
Selain karena berbagai keunikan yang telah kusebutkan tadi, aku merasa lebih bebas menuangkan berbagai ekspresi dan kegelisahanku di atas triplek. Aplikasinya pun bisa berbagai bentuk. Tidak hanya karya-karya pajang, tapi juga karya propaganda dengan tema ringan, berat, main-main, senang-senang sampai curhatan, yang kubuat dalam bentuk merchandise yang tak melepaskan nilai karya seni dan bisa disebarkan secara massif. Bisa jadi, karena ongkos produksinya lebih murah dibandingkan kanvas , aku jadi merasa bebas bermain-main dengan triplek. Atau, ini juga semacam strategi bagiku untuk menyebarluaskan karya-karya rupaku dan pesan-pesanku pada publik umum dengan harga yang terjangkau.
Dan, justru karena karya-karyaku yang menggunakan media triplek –yang murah-meriah- inilah yang disambut oleh Mas Eko Nugroho. Setelah menerima kiriman 9 foto karyaku pada tanggal 16 Mei 2011, Mas Eko langsung menantangku untuk pameran di DGTMB bersama teman-teman lainnya pada tanggal 20 Mei 2011 dalam acara pameran “VERSUS Project”. Terang saja, aku gelagapan dengan tantangan ini. Satu sisi, aku merasa senang atas penghargaan Mas Eko Nugroho. Satu sisi lain, aku bimbang; apakah aku siap untuk memajang karya-karyaku? Kepanikan mulai mencuat. Aku ingin menambah karya-karyaku yang bisa dipajang di DGTMB, juga merchandise lainnya. Bagaimana pun, ini tantangan sekaligus kesempatan. Jadilah aku hadir di DGTMB Yogyakarta.
Karya-karya yang kuhadirkan di atas triplek tidak jauh dari kesenanganku, ingatanku atas orang-orang yang kusayangi, serta kegelisahan atas realitas hidup. Misalnya: aku yang gemar memasak membuat karya kecil yang bisa digantungkan di pintu dengan objek kaleng makanan bertuliskan “Rasa SEDAP”. SEDAP sendiri merupakan singkatan dari “Sedia Aneka Protes”. Ketika kita mengolah makanan walaupun ada perasaan bangga karena merasakan buatan sendiri, secara tak langsung kita menyediakan diri untuk diprotes oleh orang-orang yang menikmati makanan kita. Jika hendak menariknya ke konsep yang lebih besar dan ndaki-ndaki; ketika kita mengolah berbagai hal dalam hidup ini dan menyajikannya untuk umum, tak ayal lagi kita pun harus siap dengan aneka protes yang kan dilontarkan orang-orang yang menikmati sajian kita.
Kemampuan memasak ini sebenarnya kupelajari dari ibuku. Ibuku merupakan sosok yang istimewa. Aku salut dan mengagumi ibuku. Bagiku, Ibuku adalah sosok perempuan super. Selama 26 tahun aku tinggal bersamanya, Ibuku mendidik anak-anaknya hingga besar dan dewasa. Ibukulah yang memberikan banyak inspirasi bagiku, seorang anak muda, tentang hidup yang penuh semangat. Walau kini kami hidup terpisah, Ibuku tinggal di Bekasi dan aku di Tanjung Barat, Jakarta bagian selatan; ingatanku tentang Ibu yang selalu menghadirkan kerinduan itu tak pernah hilang hingga aku tetap mengunjunginya seminggu sekali atau paling lama 3 minggu sekali.
Berkaitan dengan makanan, aku juga melihat bahwa sejak dulu manusia selalu berebut hingga berperang karena makanan. Perang di kalangan atas yang juga memperebutkan makanan yang diistilahkan sebagai sumber daya, juga mengimbas ke masyarakat umum yang bahkan tidak pernah tahu dan paham kegunaan perang. Justru masyarakat umum inilah yang merasakan imbas paling nyata berupa kekurangan pangan. Demikianlah yang kuceritakan dalam “Food Not War”. Sebuah karya plesetan dari “Food Not Bomb”.
Selain itu, ada juga karya triplek ukuran kecil dengan judul “Sepeda Merdeka”. Ada perasaan senang tersendiri melihat perkembangan saat ini, di kala orang mulai menyadari dan menggalakkan hemat energi, go green, hidup sehat dengan mengedepankan sepeda dengan berbagai ukuran dan model sebagai alat transportasi. Di Yogyakarta, sepeda memiliki tempat tersendiri di setiap perempatan lampu merah dengan penyediaan tempat menanti selama lampu merah di bagian depan ruas jalan. Aku sendiri mulai menggunakan sepeda sebagai alat transportasi keseharian di Jakarta walau belum rutin. Karya ini merupakan penghargaan aku dan rasa salut pada orang-orang yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi keseharian.
Selain mengerjakan project triplek, aku juga tetap menggunakan media lainnya untuk proses kreatifku. Menggambar di ruang publik atau membuat poster yang ditempelkan di tembok-tembok ruas jalan Jakarta untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, mengecat kanvas, menggambari kertas-kertas. Hanya saja, saat ini, aku sedang asyik bermain-main dengan triplek.
Mungkin, karya-karya yang kutampilkan dalam acara DGTMB ini belumlah maksimal. Tak hanya bagi penikmat yang datang dan melihat; tapi juga bagiku sendiri. Dan, aku, Isrol Triono, masih akan terus berkarya menggunakan media triplek. Untuk lebih lengkap dan jelasnya, silahkan kunjungi project triplek aku berikutnya.

17 Mei 2011

Salam “Triplek Project” dari ISROL TRIONO .