Kegelisahan waktu tak jenak, karena masa depan anak


Satu malam 26 oktober 2014 di kota semarang ketika kegelisahanku melihat jam menunjukan pukul 19:47, kegelisahan karena di jam segini masih saja berada di kota ini. Bukan karena menikmati suasana seperti halnya saya membuat karya pada malam hari seperti biasanya, akan tetapi kesempatan selama dua hari di kota semarang hanya karena untuk memenuhi undangan hajatan paralel event Kota Masa Depan kolektif Hysteria tentang "Peka Kota" yang kedapetan Saya untuk membuat karya di dua tempat wilayah di Semarang. Setelah hari kedua Saya di Semarang harus kembali ke Jogja lantaran kembali menjadi kepala rumah tangga, hahahha edan.

Dua hari di Semarang tampak terlalu cepat melewati untuk sebuah kunjungan mengikuti kegiatan di kota teman, "biasanya sampai larut tak kunjung ingat waktu pulang" tapi kali ini tidak! Alasan status qou yang tak bisa di tawar pergi keluar rumah maka harus kembali ke rumah.

Lokasi karya yang saya akan buat kedua kali ini kebagian di wilayah Semarang atas tepatnya di daerah bayumanik . Kawasan yang sangat padat kuliner serta pertokoann hingga klontong yang menjajakan menu kebutuhan masyarakat begitu juga daerah tersebut menjadi lintasan arah banyumanik ke daerah tembalang. Namun lokasi dinding untuk karya stencil saya eksekusi berada di sebuah tanah lapang RT3 RW 1, Sumurboto, dinding tanah kosong yang di apit rumah warga yang menyisakan sisa lapangan bulutangkis tak lagi terpakai. Pilihan lokasi sudah di tentukan oleh Hysteria berkaitan dengan pemutaran gerobak bioskop keliling di kelurahan Banyumanik.

Pertemuan saya dengan salah satu warga bernama mas Dani yang menunjukan dinding yang akan saya gambar, "Dani pemuda dengan perawakan badan berusia sekitar 35 an yang mungkin disiplin waktu dan makan tak pernah telat" ujar Saya dalam hati. Sembari menunju tempat yang tak jauh dari lapangan kelurahan, saya bincang singkat tentang lokasi dan karya apa nanti saya buat, sembari Dani menyiapkan lampu penerangan seadanya Saya pun memulai proses berkarya. Satu persatu warga sekitar berdatangan tak ketinggalan anak-anak yang di dampingi oleh orang tuanya, sampai mereka menyiapkan wejangan esteh, tikar untuk menonton ketika saya berproses, "hahahahhahaha, pertunjukan yang seru malam ini di bekas lapangan yang dengan penerangan alakadarnya, edaaaaaaaaaass" tak luput pertanyaan bertubi-tubi secara spontan yang di utarakan ke saya dari anak-anak kecil karena keingin tahuan berlebih. Semacam suasana berada di ruang kelas sekolah dasar mengamati pelajaran yang tertulis di papan tulis.

Durasi proses yang saya kerjaakan tak selama seperti saya nongkrong ngobrol ngalor ngidul gak karuan obrolan wacana seni yang memusingkan untuk kita realisasikan, proses stencil di ruang publik lebih cepat dari sekedar mencetak pola gambar yang telah di siapkan tidak seperti proses berkarya di ruangan kebanyakan karena segala pertimbangan, alasan berat disaat membicarakan soal estetika dan komposisi rumit dengan embel-embel kepentingan orientasi pasar atau pesanan gallery yang ujung-ujungnya duit. Dan tak seberat diskusi wacana seni dikala waktu yang menghambat sebuah proses. "Tidak bermaskud menyederhanakan persoalan", yang ada di benak saya kala itu adalah interaksi bersama warga setempat, orang tua dan anak-anak sebagai pewaris peristiwa yang saat ini terjadi untuk kemudian memproduksi sesuatu yang mereka lihat dan temui.

Menjelang selesai disaat waktu menunjukan pukul delapan lewat malam, kang Klowor yang semestinya mendokumentasikan dari awal Saya berproses datang telat lantaran menyiapkan kebutuhan listrik untuk pemutaran bioskop di lapangan kelurahan, setelah satu persatu warga meninggalkan lokasi, tak ingin ketinggalan salahsatu warga yang menghampiri saya bertanya-tanya soal teknis dan tujuan saya membuat karya stencil di lokasi itu. Sembari bebenah peralatan, sesingkat cerita kami berbincang tentang alasan pemilihan tempat, kebutuhan komersil hingga sosial politik yang penuh dengan norma pembenaran, melihat fenomena relevansi seni dan pergerakan sosial/politik dengan menjawabnya hanya pada wilayah ‘anti-korupsi’, pelanggaran HAM dan lingkungan seolah-olah wilayah itulah yang selama ini dimaksud sebagai ranah sosial politik. Mungkin disitulah pula letaknya kekeliruan kita dalam mempetakan ‘hasrat’ di ranah bergemuruh hiruk-pikuk bernama ‘politik’. Ranah yang selama ini selalu dikotak-kotakan sedemikian rupa berdasarkan kepentingan dan agenda sementara, sedemikian rupa sehingga solah-olah hidup yang kompleks dapat dibagi menjadi dua wilayah yang personal dan yang publik, yang solider dan soliter.

Sembari membereskan peralatan-cetakan kertas stencil saya, pikiran Saya mulai gelisah berganda karena urung waktu tak seperti yang saya harapkan sebelumnya, "jika penggarapan di lokasi ini lebih awal waktunya, kemungkinan tak larut hingga malam menjelang", namun perasaan itu kuredam karena tak ingin terlalu lama menggerutu di perjalanan menuju pulang.